|
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) DAN TERAPI
KOGNITIF
|
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Neurobehaviour II
|
Dosen
Pembimbing : Emiliana Luh Damayanti, S.Kep.,NS., M.Psi
|
|
|
|
Oleh :
Elly
Yanita Sari 14-14201-0008
Nanda
Wulan Sari 13-14201-0005
Ratna
Seftinurul Alfiana 14-14201-0010
Taufik Rahman -
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT., atas Rahmat, Berkah, Hidayah dan Inayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK DAN TERAPI KOGNITIF” untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sistem Neurobehaviour II Semester IV Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Merdeka Surabaya.
Penulisan
makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami
ucapkan terima kasih kepada :
1.
Emiliana Luh Damayanti, S.Kep.,NS sebagai dosen pembimbing yang
dengan penuh perhatian mendampingi dan mengajarkan pengetahuan yang sangat
bermanfaat.
2.
Sahabat
dan teman-teman S1 Keperawatan angkatan 2013 yang telah memberikan dukungan
dan masukan dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan
balasan atas segala amal yang diberikan.
Kami manyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik itu pengetahuan dan kemampuan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun
untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Harapan kami semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan khususnya untuk para pembaca dan
mudah-mudahan Allah SWT meridho’i kita semua, Amin.
Surabaya, 5 Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………..... 2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………... 3
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………………... 4
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………... 4
1.2 Tujuan ……………………………………………………………………….... 6
BAB II TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK ………………………………………… 7
2.1 Definisi TAK …………………………………………………………….……. 7
2.2 Manfaat TAK …………………………………………………….………….... 7
2.3 Tujuan TAK …………………………………………………….…………….. 8
2.4 Dampak Teraupetik Dari Kelompok …………………………….…………..... 8
2.5 Indikasi dan Kontra Indikasi TAK ………………………………………….... 10
2.6 Komponen Kelompok ………………………………………….……………... 10
2.7 Proses TAK ………………………………………………………………........ 11
2.8 Tahapan TAK ………………………………………………………………..... 12
2.9 Macam TAK …………………………………………………………….…….. 13
BAB III TERAPI KOGNITIF………………………………………………………….. 16
3.1 Pengertian Terapi Kognitif……..……………………………………………..... 16
3.2 Tujuan Terapi Kognitif…………..…………………………………………….. 18
3.3 Indikasi Terapi Kognitif……………………………………………..……......... 19
3.4 Teknik Terapi Kognitif…………………………………………..…………….. 20
3.5 Langkah – langkah Terapi Kognitif……………………………..……………... 25
3.6 Strategi Pendekatan ………………………………………….………………... 25
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………...……. 26
4.1 Kesimpulan …………………………..……………………………………....... 26
4.2 Saran ……………………………………………………………………..…….. 27
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal,
suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan
jiwa selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area
psikoedukatif, dan area sosiokultural. Dalam
konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif dikonstruksikan sebagai tahapan mulai adanya faktor predisposisi, faktor
presipitasi dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan penilaian terhadap
stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana mekanisme koping yang
dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru menentukan apakah
perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptive.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda
terhadap apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku
terjadi. Perbedaan pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual
kesehatan jiwa. Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model
social, model perilaku, model eksistensial, model medical, berbeda pula dengan
model stress – adaptasi. Masing-masing model memiliki pendekatan unik dalam
terapi gangguan jiwa. Berbagai
pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi
modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang
bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya
menjadi perilaku yang adaptif.
Pada makalah ini akan membahas mengenai terapi
aktifitas kelompok dan terapi kognitif yang merupakan bagian dari terapi
modalitas. Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis
atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien
Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria
anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa
yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007). Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita, dan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi (Keliat, 2006).
Sedangkan terapi kognitif
dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Aaron Beck dan berkaitan dengan terapi
rasional emotif dari Albert Ellis. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika
digabung dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini di disatukan dan
dikenal dengan terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy).
Terapi ini memperlakukan individu sebagai agen yang berpikir positif dan
berinteraksi dengan dunianya. Individu membentuk sudut pandang dan keyakinan
serta memiliki afek atau perasaan mengenai apa yang dianggap benar bagi diri
sendiri, lingkungan, dan mengenia pikiran serta perasaannya pada interaksi yang
luas dengan perilaku atau tindakan dalam rangkaian interaksi. Setiap interaksi
memperngaruhi interaksi lain.
Berdasarkan kognisi dan pengalaman masa lalu, individu membentuk pandangan
dan skema kognitif yaitu cara berpikir atau perspektif kebiasaan mengenai diri
sendiri, dunia dan masa depan. Misalnya, individu mengembangkan pandangan
psimistis mengenai cara mengontrol takdirnya sendiri atau merasa takdirnya
mampu dikontrol oleh orang lain dan tidak mampu mengontrolnya sendiri. Dalam
situasi tersebut, individu mengembangkan pandangan negative serta merasa tidak
berharga (disebut pikiran otomatis negative) yang dapat menimbulkan stress,
emosi, kecemasan dan depresi. Individu cenderung mengolah keyakinan yang tidak
masuk akal tentang kemampuan dan berhubungan dengan orang lain. Hasil persepsi
dan distorsi yang salah ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap
diri sendiri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif, dan pandangan
tentang diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu.
1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
3. Mahasiswa
mampu menjelaskan Terapi Aktivitas Kelompok
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Terapi Kognitif
B. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pengertian TAK
2. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan manfaat TAK
3. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan tujuan TAK
4. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan dampak terapeutik TAK
5. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan indikasi dan kontra indikasi TAK
6. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan komponen kelompok proses TAK
7. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan tahapan TAK
8. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan macam TAK
9. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pengertian
Terapi Kognitif
10. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan tujuan
Terapi Kognitif
11. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan indikasi
Terapi Kognitif
12. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan teknik
Terapi Kognitif
13. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan langkah - langkah melakukan Terapi Kognitif
14. Mahasiswa
mampu mendeskripsikan strategi pendekatan
BAB II
TERAPI
AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
2.1 Definisi TAK
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan
mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan
jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa
di Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang
dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi
bagi pasien dengan gangguan interpersonal
(Yosep, 2008).
2.2 Manfaat TAK
Terapi
aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu :
A. Umum
1. Meningkatkan
kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui
komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2. Membentuk
sosialisasi
3. Meningkatkan
fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran
tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive
(bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
4. Membangkitkan
motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif.
B. Khusus
1. Meningkatkan
identitas diri.
2. Menyalurkan
emosi secara konstruktif.
3. Meningkatkan
keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.
4. Bersifat
rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial,
kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang
masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
2.3 Tujuan TAK
Depkes
RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
A. Tujuan
Umum
1. Meningkatkan
kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan cara membedakan
sesuatu yang nyata dan khayalan.
2. Meningkatkan
sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan
orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun
perasaan ortang lain.
3. Meningkatkan
kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku defensif
yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa
diri tidak berharga atau ditolak.
4. Membangkitkan
motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif dan
afektif.
B. Tujuan
Khusus
1. Meningkatkan
identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang
mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
2. Penyaluran
emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk
menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya
untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
3. Meningkatkan
keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan
bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan
hubungan sosial dalam kesehariannya.
2.4 Dampak Teraupetik Dari Kelompok
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat
memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985)
dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang
terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
a.
Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia
sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi
atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.
b.
Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan
menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan
dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
c.
Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota
memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya
menerima ide dari yang lainnya.
d.
Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga
primer yang untuk kebanyakan klien merupakan suatu
masalah atau persoalan. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi
resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
e.
Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan
kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien
dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih
cara baru berinteraksi.
f.
Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari
memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung
tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
g.
Identifikasi, prilaku tiruan
(imitative) dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau
anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
h.
Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi
kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan
berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi
perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan
seseorang.
i.
Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar
berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan
mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
j.
Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya
membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan
dalam kelompok.
k.
Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk
mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap
diri seseorang.
2.5 Indikasi Dan Kontraindikasi TAK
Adapun
indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah
:
a. Semua
klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok
kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi
tak terkontrol, mudah bosan.
b. Ada
berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok
antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu
gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa
kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
c. Untuk
pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi,
diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan
pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan masalah yang
sama.
2.6 Komponen Kelompok
Kelompok
terdiri dari (Kelliat,
2005) :
a. Struktur
kelompok.
Struktur
kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan
hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan
membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur
dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin,
sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b. Besar
kelompok.
Jumlah
anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar
antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua
anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi
yang terjadi (Kelliat, 2005).
c. Lamanya
sesi.
Waktu
optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan
60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada
tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan
sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
2.7 Proses Terapi Aktivitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada
terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman
dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian
otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan
tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap
permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang
kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh
anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan anggota untuk
memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka
terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta
prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok.
Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk
terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang
dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara.
Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkat oleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar.
Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu
mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak
bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan
penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang
datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan
sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis
lebih banyak pasif. Terapis
hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi
menghadapi kelompok yang terdiri dari individu - individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat
pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin
dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk
pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).
2.8 Tahapan
dalam TAK
Kelompok sama dengan individu, mempunyai
kapasitas untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat
fase, yaitu: Fase prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase
terminasi kelompok (Stuart & Laraia,
2001 dalam Cyber Nurse, 2009).
a. Fase
Prakelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan pemimpin (leader), jumlah anggota, kriteria
anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi
biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria
anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah: sudah punya diagnosa
yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007).
b. Fase
Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya
kelompok baru, dan peran baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001)
membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu
orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya
dalam tiga fase, yaitu forming, storming,
dan norming.
1) Tahap
Orientasi
Anggota
mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-masing, pemimpin menunjukkan
rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota.
2) Tahap
Konflik
Merupakan
masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin
perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih & Karlina,
2009).
3) Tahap
Kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang
informasi dan lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).
c. Fase
Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok
menjadi stabil dan realistis (Keliat, 2004).
Pada akhir fase ini, anggota kelompok
menyadari produktivitas dan kemampuan yang
bertambah disertai percaya diri dan kemandirian (Yosep, 2007).
d. Fase
Terminasi
Terminasi yang sukses ditandai
oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok
akan digunakan secara individual pada
kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat
bersifat sementara atau akhir (Keliat, 2004).
2.9 Macam
Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi
aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat yaitu :
A. Terapi aktivitas kelompok
stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi
persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan
pengalaman dan atau kehidupan untuk
didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004). Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu
pasien yang mengalami kemunduran orientasi
dengan karakteristik: pasien dengan gangguan persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang
inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal
(Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
diakibatkan oleh paparan stimulus
kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus
yang dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Darsana,
2007).
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata
dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi.
Aktivitas dibagi dalam empat sesi yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu :
1.
Sesi pertama : mengenal halusinasi
2.
Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik
halusinasi
3.
Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan
4.
Sesi keempat : cara minum obat yang benar
B. Terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan
dengan memberikan stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku.
1.
Bentuk stimulus :
a.
Stimulus suara: musik
b.
Stimulus visual: gambar
c.
Stimulus gabungan visual dan
suara: melihat televisi, video
2.
Tujuan dari TAK stimulasi
sensori bertujuan agar klien mengalami :
a.
Peningkatan kepekaan terhadap
stimulus.
b.
Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
c.
Peningkatan apresiasi terhadap
lingkungan
3.
Jenis TAK yaitu :
a.
TAK Stimulasi Suara
b.
TAK Stimulasi Gambar
c.
TAK Stimulasi Suara dan Gambar
C. Terapi aktivitas kelompok orientasi realita
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah
upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri,
orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu.
Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai
realitas (reality testing ability).
Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu,
dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing
dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi
kendala ini, maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten
kepada klien tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi
stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu,
dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai
dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1.
Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah
berada
2.
Klien mengenal waktu dengan tepat.
3.
Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di
sekitarnya dengan tepat
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas
pengenalan orang, tempat, dan waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi
realitas adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya,
salah mngenal orang lain, tempat, dan waktu.
Tahapan kegiatan :
a.
Sesi I : Orientasi Orang
b.
Sesi II : Orientasi Tempat
c.
Sesi III : Orientasi Waktu
D. Terapi aktifitas kelompok
sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan
sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam
melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi
dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :
1. Memantau dan meningkatkan
hubungan interpersonal
2. Memberi tanggapan terhadap
orang lain
3. Mengekspresikan ide dan tukar
persepsi
4. Menerima stimulus eksternal
yang berasal dari lingkungan
Tujuan umum :
Mampu meningkatkan hubungan
interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan,
memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima
stimulus eksternal.
Tujuan khusus :
1. Penderita mampu menyebutkan
identitasnya
2. Menyebutkan identitas
penderita lain
3. Berespon terhadap penderita
lain
4. Mengikuti aturan main
5. Mengemukakan pendapat dan
perasaannya
Karakteristik :
1. Penderita kurang berminat atau
tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan ruangan
2. Penderita sering berada
ditempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang
3. Penderita dengan harga diri
rendah, gelisah, curiga, takut dan cemas
4. Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab
seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan.
BAB III
TERAPI
KOGNITIF
3.1 Pengertian
Terapi Kognitif
Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif
menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan kecemasan dan
tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat, penilaian, dan interpretasi
dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh
berhubungan langsung dengan pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari
distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan logika, kesalahan
dalam penalaran, atau pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan
realitas. distorsi dapat berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang
secara konsisten dapat melihat kehidupan dengan cara yang realistis positif dan
dengan demikian mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah
kesehatan dan mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan
jantung". Distorsi kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan
oleh orang yang menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai bukti
kurang lengkap diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam tabel di bawah ini
(Stuart, 2009)
Tabel Bentuk Distorsi Kongnisi (Stuart, 2009)
No
|
Kelainan
Kongnisi
|
Pengertian
|
Contoh
|
1
|
Overgeneralization
|
Mengarahkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu
berdasarkan kejadian tunggal.
|
Seseorang mahasiswa yang gagal dalam satu ujian
mengatakan: “kayaknya saya enggak akan lulus dalam setiap ujian”.
|
2
|
Personalization
|
Menghubungkan
kejadian diluar terhadap dirinya meskipun hal tersebut tidak beralasan.
|
“atasan saya mengatakan produktivitas perusahaan
sedang menurun tahun ini, saya yakin kalau pernyataan ini ditujukan pada diri
saya”.
|
3
|
Dichotomus thinking
|
Berfikir ekstrim, menganggap segala sesuatunya
selalu sangat bagus atau buruk.
|
“Bila suami saya meninggalkan saya, saya pikir saya
lebih baik mati”.
|
4
|
Catastrophizing
|
Berfikir sangat buruk tentang orang dan kejadian.
|
“saya lebih baik tidak mengisi formulir promosi
jabatan itu, sebab saya tidak menginginkan dan tidak akan nyaman dengan
jabatan itu”.
|
5
|
Selective abstraction
|
Berfokus pada detail, tetapi tidak relavan dengan
informasi yang lain.
|
Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak
mencintainya sebab ia datang terlambat dari pekerjaannya, tetapi ia
mengabaikan perasaannya, hadiah dari suaminya tetap diterima dan libur
bersama tetap direncanakan.
|
6
|
Arbitary inference
|
Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung
data.
|
Teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia
tidak mau diajak pergi.
|
7
|
Mind reading
|
Percaya bahwa seseorang mengetahui pemikiran orang
lain tanpa mengecek kebenarannya.
|
Mereka pasti berfikir bahwa dirinya terlalu kurus
atau terlalu gemuk.
|
8
|
Magnification
|
Melebih–lebihkan suatu peristiwa
|
Saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini
menunjukkan betapa tidak kompetennya saya.
|
9
|
Externalization of self worth
|
Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada
orang lain.
|
Saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap
waktu tetapi teman-teman saya yang tidak menginginkan saya berada di
sampingnya.
|
Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek terstruktur berorientasi
terhadap masalah saat ini dan bersifat individu. Terapi kognitif adalah terapi
yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu
singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya
ansietas atau depresi (Singgih, 2007).
3.2 Tujuan
Terapi Kognitif
Menurut
Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan menggunakan terapi
kognitif adalah sebagai berikut:
a. Membantu
klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang keakuratan kognisi
negative klien. Selain itu, juga untuk memperkuat persepsi yang lebih akurat
dan mendorong perilaku yang dirancang untuk mengatasi gejala depresi. Dalam
beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan terapi depresan.
b. Menjadikan
atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
c. Memodifikasi
proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah cara berpikir atau
mengembangkan pola pikir yang
rasional.
d. Membentuk
kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang maladaptive, pikiran
yang mengannggu secara otomatis, serta proses pikir tidak logis yang
dibesar-besarkan. Berfokus pada pikiran individu yang menentukan sifat
fungsionalnya.
e. Menghilangkan
sindrom depresi dan mencegah kekambuhan. Tanda dan gejala depresi dihilangkan
melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara berpikir maladaptive dan
otomatis. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan
yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan yang dapat
menyebabkan depresi. Klien menyadari kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien
harus belajar cara merespon kesalahan tersebut dengan cara yang lebih adaptif.
Dengan perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan
pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative. Cara lain adalah dengan membantun
klien mengidentifikasi kondisi negative, mencari alternative, membuat skema
yang sudah ada menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang
lebih adaptif.
f. Membantu
menargetkan proses berpikir serta perilaku yang menyebabkan dan mempertahankan
panik atau kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan klien, restrukrisasi kognitif, pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik
biologis, mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
g. Menempatkan
individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan obsesif kompulsif
dan selanjutnya mencegah responsnya. Misalnya dengan cara pelimpahan atau
pencegahan respons, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi distorsi kognitif
melalui psikoedukasi.
h. Membantu
individu mempelajari respons rileksasi, membentuk hirarki situasi fobia, dan
kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap mempertahankan
respons rileksasi misalnya dengan cara desensitisasi sistematis.
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien terhadap
situasi yang ditakutinya.
i.
Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang
berhasil bertahan hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara
restrukturisasi kognitif.
j.
Membantu mengurangi gejala klien dengan
restrukturisasi sistem
keyakinan yang salah.
k. Membantu
mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik untuk meningkatkan
aktivitas sosialnya.
l.
Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan
internal.
3.3 Indikasi
Terapi Kognitif
Menurut
Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi psikiatri
yang lazim, terutama:
a. Depresi
(ringan sampai sedang).
b. Gangguan
panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan.
c. Indiividu
yang mengalami stress emosional.
d. Gangguan
obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang sering terjadi
pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan antidepresan
– jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering
terjadi.
e. Gangguan
fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik).
f. Gangguan
stress pascatrauma (post traumatic stress disorder).
g. Gangguan
makan (anoreksia nervosa).
h. Gangguan
mood.
i.
Gangguan psikoseksual
j.
Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.
3.4 Teknik
Terapi Kognitif
Menurut
Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus diketahui oleh
perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat agar peran
perawat jiwa bisa berfungsi secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini
harus dipadukan dengan kemampuan lain seperti teknik komter, milieu therapy
dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain:
A. Teknik
Restrukturisasi Kognitif (Restructuring Cognitive)
B. Perawat berupaya untuk
memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan
yang muncul. Teknik restrukturasasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran
diri dan mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan
menggunakan pendekatan 5 kolom.
Tanggal
|
Situasi emosi
|
Pikiran otomatis
|
Respon rasional
|
hasil
|
Tanggal saat masalah dirasakan
|
1. Kejadian nyata yang
menyebabkan ketidaknyamanan emosi.
2. Pokok pikiran, khayalan yang menyebabkan ketidaknyamanan emosi.
|
1. Pikiran otomatis yang muncul khususnya sedih, cemas, marah.
2. Skala emosi dalam rentang 0% - 100 %
|
1. Tulis respon rasional terhadap pemikiran
otomatis yang muncul
2. Tuliskan persentase kepercayaannya dalam
rentang 0- 100%
|
1. Tulis kembali tingkat kepercayaan
terhadap persentase pikiran otomatis 1- 100%
|
Masing - masing
kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat menghadapi masalah
terutama yang dianggap menimbulkan kecemasan saat ini.
Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive, untuk kemudian
diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan seperlunya, maka hasil analisa
klien dan blanko yang sudah terisi dibahas secara bersama.
C. Teknik
Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan
pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan
menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat
memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan
dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi dalam pemikirannya seringkali
memberikan bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data-data yang tidak
disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran
buruknya.
Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain dalam masyarakat
sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat
memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding dengan
pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi
sebagai penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya. Berdasarkan
data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil kesimpulan yang tepat
tentang perasaanya selama ini.
D. Teknik
penemuan alternatif ( examing alternatives)
Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat
karena tidak adanya alternatif
pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan
menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa
dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk
menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu. Kemudian
mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan
jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah
seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng bocor dan
lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien bisa menemukan
alternatif – alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum
dibayar klien boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan tidak
mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat penerangan lain,
gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan keluarga yang lebih mampu dan
sebagainya. Disini penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar
berani berfikir “lain dari yang biasanya “ atau
berani “berpikir beda”.
E. Dekatastropik
(decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa (the
what-if then). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan
evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara
berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk
debngan apa-apa yang mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan.
Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh
klien yang tinggal dipantai harus berani berfikir : “apa yang akan saya lakukan
bila tsunami tiba-tiba datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba
tenggelam?; dan sebagainya.
F. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi
atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain
dari masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang
saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang
keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat
menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif
yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi
klien dapat memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga dapat memicu
kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu
makna berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK dapat
dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah makna PHK, ia dapat
berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan
pengalaman baru, banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya belajar industry
rumahan (home industry) dan meraih peluang kerja yang lainnya.
G. Berhenti Memikirkan (Thought
Stopping)
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi
klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit
dipecahkan. Teknik berhenti memikirkannya ( thought
stoping ) sangat baik digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu
sebagai masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai.
Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di dinding
yang digunakan untuk menghentikan berpikir disfungsional. Untuk memulainya, klien
diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya dalam
khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras
“berhenti”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa
selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi
keseharian.
H. Learning
New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam
meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima.
Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam
beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang
yang berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara
modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku
orang yang dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara bersama
dengan fasilitator. Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai
dengan pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada
klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu
sambil belajar bisnis atau berdagang dengan orang lain, setelah mendapat
pengalaman klien bisa melakukannya sendiri.
I. Membentuk
Pola ( Shaping
)
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan penguatan (reinforcement). Misalnya anak yang bandel dan tidak akur dengan orang lain berniat untuk damai dan hangat dengan
orang lain, maka pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.
J. Token
Economy
Token economy adalah bentuk penguatan
positif yang sering digunakan pada kelompok anak-anak atau klien yang
mengalami masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara konsisten pada saat
klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang baik. Misalnya
setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan
mendapat tanda silang atau gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung
terus menerus sampai suatu saat jumlahnya diakumulasikan.
K. Role
Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku
salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan
memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan
belajar mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam
cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang
disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang pasien yang
tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok
L. Social
skill Training.
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun
diperoleh sebagai hasil belajar. Sebagai
contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan keterampilan
membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang
baik, selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan sendiri.
Perawat melakukan feedback dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang
masih belum selesai harapan.
M. Anversion
Theraphy
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan buruk
klien dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang
tidak disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat bosan dengan
cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai cacing atau ulat yang
menjijikan. Setiap klien kegemukan melakukan kebiasaan ngemil makanan,
maka ia dianjurkan untuk membayangkan kotoran kambing yang dimakan terus.
N. Contingency
Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapis dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian
dibuat dengan hukuman (punishment) dan pujian (reward). Misalnya bila klien berhasil mandi tepat waktu atau
meninggalkan kebiasaan merokok maka pada saat bertemu dengan perawat hal
tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati antara
klien dengan perawat terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk yang sudah
disepakati untuk ditinggalkan.
Sedangkan menurut
Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan dalam melakukan terapi kkognitif
adalah sebagai berikut:
1. Mendukung
klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan keyakinan yang
menyebabkan khawatir.
2. Menggunakan
teknik pertanyaan Socratic yaitu meminta klien untuk
menggambarkan, menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang merendahkan
dirinya sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa asumsi tersebut
tidak logis dan tidak rasional.
3. Mengidentifikasi
interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri, nilai diri dan dunia.
Dengan demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru, dan distress
enmosional menjadi hilang.
3.5 Langkah-Langkah
Melakukan Terapi Kognitif
Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif dipraktikan diluar sesi terapi
dan menjadi modal utama dalam mengubah gejala. Terapi berlangsung lebih kurang
12-16 sesi yang terdiri atas:
A. Fase
awal
1. Membentuk
hubungan terapeutik dengan klien.
2. Mengajarkan
klien tentang bentuk kognitif yang salah serta pengaruhnyan terhadap emosi dan
fisik.
3. Menentukan
tujuan terapi.
4. Mengajarkan
klien untuk mengevaluasi pikiran-pikiran yang
otomatis.
B. Fase
pertegahan
1. Mengubah
secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.
2. Membantu
klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta mempraktikan keterampilann
berespons terhadap hal-hal yang menimbulkan depresi dan memodifikasinya.
C. Fase
akhir
1. Menyiapkan
klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang relevan
untuk terjadinya kekambuhan.
2. Mengonsolidasikan
pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.
3.6 Strategi
Pendekatan
Menurut
Setyoadi, dkk (2011) strategi pendekatan terapi kognitif antara lain:
a. Menghilangkan
pikiran otomatis.
b. Menguji
pikiran otomatis.
c. Mengidentifikasi
asumsi maladaptif.
d. Menguji
validitas asumsi maladaptif.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
A. Terapi Aktivitas Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki
hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan
mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009).
Manfaat TAK yaitu: Meningkatkan kemampuan menguji
kenyataan (reality testing) melalui komunikasi dan umpan balik
dengan atau dari orang lain.
Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang
telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang
diberikan oleh kelompok lainnya.
Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas
kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic,
delusi tak terkontrol, mudah bosan.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan
tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri.
Tahapan TAK yaitu: fase prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja
kelompok, dan fase terminasi.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi
persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan
pengalaman dan atau kehidupan untuk
didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004).
B. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur,
aktif, direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai
hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi. Terapi
kognitif digunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki gejala perilaku yang tidak
sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitif yang
ada. Terapis dengan pendekatan kognitif mengajarkan pasien atau klien agar
berpikir lebih realistik gejala yang berkelainan yang ada.
Terapi kognitif di indikasikan kepada klien dengan depresi (ringan sampai
sedang), gangguan panik dan
gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan, indiividu yang mengalami stress
emosional, gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder)
yang sering terjadi pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi
perilaku dan anti depresan
– jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering
terjadi, gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik),
gangguan stress pasca trauma (post
traumatic stress disorder), gangguan makan (anoreksia nervosa), gangguan
mood, gangguan psikoseksual, mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.
Beberapa teknik dalam terapi kognitif yaitu teknik restrukturisasi kognitif (restructuring cognitive), teknik penemuan fakta-fakta (questioning the evidence), teknik
penemuan alternatif (examing alternatives), dekatastropik (decatastrophizing),
reframing, thought stopping, learning new behavior with
modeling, membentuk pola (shaping), token economy, role play,
social skill training, anversion theraphy, contingency contracting.
4.2 SARAN
a. Perawat
harus memberikan rasa nyaman pada pasien.
b. Perawat
harus membantu pasien dalam memenuhi aktifitas kebutuhan sehari-hari.
c. Perawat
harus memotivasi pasien agar pasien cepat sembuh dan tidak terpuruk dengan
penyakitnya.
d. Perawat mampu menerapkan mekanisme koping dengan menggunakan
terapi modalitas pada keperawatan jiwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Keliat B. A, 2006. Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta. EGC.
Stuart, G. W. 2007. Buku
Saku Keperawatan. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan
Jiwa. Bandung: Reflika Aditama.
Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling
dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Setyoadi, dkk. (2011). Terapi
Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. (2009). Principle
and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis: Mosby.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan
Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar