Materi Kuliah

Rabu, 21 September 2016

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan Terapi Kognitif keperawatan Jiwa


TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) DAN TERAPI KOGNITIF
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem Neurobehaviour II
Dosen Pembimbing : Emiliana Luh Damayanti, S.Kep.,NS., M.Psi












Oleh :

                                      Elly Yanita Sari                      14-14201-0008
                                      Nanda Wulan Sari                  13-14201-0005
                                      Ratna Seftinurul Alfiana        14-14201-0010
                                      Taufik Rahman                                  -




PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
2015





KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas Rahmat, Berkah, Hidayah dan Inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK DAN TERAPI KOGNITIF” untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Neurobehaviour II Semester IV Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Merdeka Surabaya.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.  Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada :
1.      Emiliana Luh Damayanti, S.Kep.,NS sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian mendampingi dan mengajarkan pengetahuan yang sangat bermanfaat.
2.      Sahabat dan teman-teman S1 Keperawatan angkatan 2013 yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal yang diberikan.  Kami manyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik itu pengetahuan dan kemampuan.  Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan khususnya untuk para pembaca dan mudah-mudahan Allah SWT meridho’i kita semua, Amin.

Surabaya, 5 Mei  2015


                                                                                               Penulis





DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………………..... 2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………...     3
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………………...    4
1.1  Latar Belakang ………………………………………………………………... 4
1.2  Tujuan ……………………………………………………………………….... 6
BAB II TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK …………………………………………     7
2.1  Definisi TAK …………………………………………………………….…….     7
2.2  Manfaat TAK …………………………………………………….………….... 7
2.3  Tujuan TAK …………………………………………………….…………….. 8
2.4  Dampak Teraupetik Dari Kelompok …………………………….…………..... 8
2.5  Indikasi dan Kontra Indikasi TAK ………………………………………….... 10
2.6  Komponen Kelompok ………………………………………….……………... 10
2.7  Proses TAK ………………………………………………………………........ 11
2.8  Tahapan TAK ………………………………………………………………..... 12
2.9  Macam TAK …………………………………………………………….……..     13
BAB III TERAPI KOGNITIF…………………………………………………………..   16
3.1 Pengertian Terapi Kognitif……..……………………………………………..... 16
3.2 Tujuan Terapi Kognitif…………..……………………………………………..  18
3.3 Indikasi Terapi Kognitif……………………………………………..……......... 19
3.4 Teknik Terapi Kognitif…………………………………………..……………..  20
3.5 Langkah – langkah Terapi Kognitif……………………………..……………... 25
3.6 Strategi Pendekatan ………………………………………….………………... 25
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………...……. 26
4.1 Kesimpulan …………………………..…………………………………….......  26
4.2 Saran ……………………………………………………………………..…….. 27
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..... 28




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan area sosiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif dikonstruksikan sebagai tahapan mulai adanya faktor predisposisi, faktor presipitasi dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru menentukan apakah perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptive.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku terjadi. Perbedaan pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa. Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model perilaku, model eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing model memiliki pendekatan unik dalam terapi gangguan jiwa. Berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Pada makalah ini akan membahas mengenai terapi aktifitas kelompok dan terapi kognitif yang merupakan bagian dari terapi modalitas. Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007). Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita, dan  terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2006).
Sedangkan terapi kognitif dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Aaron Beck dan berkaitan dengan terapi rasional emotif dari Albert Ellis. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika digabung dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini di disatukan dan dikenal dengan terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy). Terapi ini memperlakukan individu sebagai agen yang berpikir positif dan berinteraksi dengan dunianya. Individu membentuk sudut pandang dan keyakinan serta memiliki afek atau perasaan mengenai apa yang dianggap benar bagi diri sendiri, lingkungan, dan mengenia pikiran serta perasaannya pada interaksi yang luas dengan perilaku atau tindakan dalam rangkaian interaksi. Setiap interaksi memperngaruhi interaksi lain.
Berdasarkan kognisi dan pengalaman masa lalu, individu membentuk pandangan dan skema kognitif yaitu cara berpikir atau perspektif kebiasaan mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan. Misalnya, individu mengembangkan pandangan psimistis mengenai cara mengontrol takdirnya sendiri atau merasa takdirnya mampu dikontrol oleh orang lain dan tidak mampu mengontrolnya sendiri. Dalam situasi tersebut, individu mengembangkan pandangan negative serta merasa tidak berharga (disebut pikiran otomatis negative) yang dapat menimbulkan stress, emosi, kecemasan dan depresi. Individu cenderung mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuan dan berhubungan dengan orang lain. Hasil persepsi dan distorsi yang salah ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap diri sendiri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif, dan pandangan tentang diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu.




1.2  Tujuan
A.    Tujuan Umum
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan Terapi Aktivitas Kelompok
4.      Mahasiswa mampu menjelaskan Terapi Kognitif
B.     Tujuan Khusus
1.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian TAK
2.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan manfaat TAK
3.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan tujuan TAK
4.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan dampak terapeutik TAK
5.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan indikasi dan kontra indikasi TAK
6.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan komponen kelompok proses TAK
7.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan tahapan TAK
8.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan macam TAK
9.      Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian Terapi Kognitif
10.  Mahasiswa mampu mendeskripsikan tujuan Terapi Kognitif
11.  Mahasiswa mampu mendeskripsikan indikasi Terapi Kognitif
12.  Mahasiswa mampu mendeskripsikan teknik Terapi Kognitif
13.  Mahasiswa mampu mendeskripsikan langkah - langkah melakukan Terapi Kognitif
14.  Mahasiswa mampu mendeskripsikan strategi pendekatan






BAB II
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)

2.1  Definisi TAK
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009).  Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok  untuk  memberikan  stimulasi  bagi  pasien  dengan  gangguan interpersonal (Yosep, 2008).

2.2  Manfaat TAK
Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu :
A.    Umum
1.      Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing)  melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2.      Membentuk sosialisasi
3.      Meningkatkan  fungsi  psikologis,  yaitu  meningkatkan  kesadaran  tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
4.      Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif.
B.     Khusus
1.      Meningkatkan identitas diri.
2.      Menyalurkan emosi secara konstruktif.
3.      Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.
4.      Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.


2.3  Tujuan TAK
Depkes RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
A.    Tujuan Umum
1.      Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
2. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
3.      Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
4.      Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif.
B.     Tujuan Khusus
1.      Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
2.      Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
3.      Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.

2.4  Dampak Teraupetik Dari Kelompok
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
a.         Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.
b.         Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
c.         Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya.
d.        Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan klien merupakan suatu masalah atau persoalan. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
e.         Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi.
f.          Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
g.         Identifikasi, prilaku tiruan (imitative) dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
h.         Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
i.           Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
j.           Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
k.         Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang.




2.5  Indikasi Dan Kontraindikasi TAK
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah :
a.       Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
b.      Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
c.       Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan masalah yang sama.

2.6  Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari (Kelliat, 2005) :
a.       Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b.      Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
c.       Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
2.7  Proses Terapi Aktivitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkat oleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu - individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).

2.8  Tahapan dalam TAK
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart & Laraia, 2001 dalam Cyber Nurse, 2009).
a.       Fase Prakelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan pemimpin (leader), jumlah anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah: sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007).
b.      Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming, storming, dan norming. 
1)      Tahap Orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-masing, pemimpin menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota.
2)      Tahap Konflik
Merupakan  masa  sulit  dalam  proses  kelompok.  Pemimpin  perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).

3)      Tahap Kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).
c.       Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan realistis (Keliat, 2004).  Pada  akhir  fase  ini,  anggota  kelompok  menyadari produktivitas  dan  kemampuan  yang  bertambah  disertai  percaya  diri  dan kemandirian (Yosep, 2007).
d.      Fase Terminasi
Terminasi  yang  sukses  ditandai  oleh  perasaan  puas  dan  pengalaman kelompok  akan  digunakan  secara  individual  pada  kehidupan  sehari-hari. Terminasi dapat bersifat sementara atau akhir (Keliat, 2004).

2.9  Macam Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat yaitu :
A.    Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004). Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang  mengalami  kemunduran  orientasi  dengan  karakteristik:  pasien  dengan gangguan persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai kemampuan  untuk  menyelesaikan  masalah  yang  diakibatkan  oleh  paparan stimulus kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Darsana, 2007).
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam empat sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1.      Sesi pertama : mengenal halusinasi
2.      Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi
3.      Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan
4.      Sesi keempat :  cara minum obat yang benar
B.     Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku.
1.      Bentuk stimulus :
a.       Stimulus suara: musik
b.      Stimulus visual: gambar
c.       Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video
2.      Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :
a.       Peningkatan kepekaan terhadap stimulus.
b.      Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
c.       Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
3.      Jenis TAK yaitu :
a.       TAK Stimulasi Suara
b.      TAK Stimulasi Gambar
c.       TAK Stimulasi Suara dan Gambar
C.     Terapi aktivitas kelompok orientasi realita
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu.
Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1.      Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
2.      Klien mengenal waktu dengan tepat.
3.      Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya   dengan tepat
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan waktu.
Tahapan kegiatan :
a.       Sesi I      : Orientasi Orang
b.      Sesi II    : Orientasi Tempat
c.       Sesi III   : Orientasi Waktu
D.    Terapi aktifitas kelompok sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :
1.      Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
2.      Memberi tanggapan terhadap orang lain
3.      Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
4.      Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
Tujuan umum :
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
Tujuan khusus :
1.      Penderita mampu menyebutkan identitasnya
2.      Menyebutkan identitas penderita lain
3.      Berespon terhadap penderita lain
4.      Mengikuti aturan main
5.      Mengemukakan pendapat dan perasaannya
Karakteristik :
1.      Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan ruangan
2.      Penderita sering berada ditempat tidur, menarik diri, kontak sosial kurang
3.      Penderita dengan harga diri rendah, gelisah, curiga, takut dan cemas
4.      Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan.




BAB III
TERAPI KOGNITIF

3.1  Pengertian Terapi Kognitif
Kognisi adalah suatu  tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan kecemasan dan tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat, penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan realitas. distorsi dapat berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang secara konsisten dapat melihat kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan demikian mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan dan mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan jantung". Distorsi kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan oleh orang yang menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai bukti kurang lengkap diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam tabel di bawah ini (Stuart, 2009)
Tabel Bentuk Distorsi Kongnisi (Stuart, 2009)
No
Kelainan Kongnisi
Pengertian
Contoh
1
Overgeneralization
Mengarahkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu berdasarkan kejadian tunggal.
Seseorang mahasiswa yang gagal dalam satu ujian mengatakan: “kayaknya saya enggak akan lulus dalam setiap ujian”.
2
Personalization
Menghubungkan kejadian diluar terhadap dirinya meskipun hal tersebut tidak beralasan.
“atasan saya mengatakan produktivitas perusahaan sedang menurun tahun ini, saya yakin kalau pernyataan ini ditujukan pada diri saya”.
3
Dichotomus thinking
Berfikir ekstrim, menganggap segala sesuatunya selalu sangat bagus atau buruk.
“Bila suami saya meninggalkan saya, saya pikir saya lebih baik mati”.
4
Catastrophizing
Berfikir sangat buruk tentang orang dan kejadian.
“saya lebih baik tidak mengisi formulir promosi jabatan itu, sebab saya tidak menginginkan dan tidak akan nyaman dengan jabatan itu”.
5
Selective abstraction
Berfokus pada detail, tetapi tidak relavan dengan informasi yang lain.
Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya sebab ia datang terlambat dari pekerjaannya, tetapi ia mengabaikan perasaannya, hadiah dari suaminya tetap diterima dan libur bersama tetap direncanakan.
6
Arbitary inference
Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data.
Teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia tidak mau diajak pergi.
7
Mind reading
Percaya bahwa seseorang mengetahui pemikiran orang lain tanpa mengecek kebenarannya.
Mereka pasti berfikir bahwa dirinya terlalu kurus atau terlalu gemuk.
8
Magnification
Melebih–lebihkan suatu peristiwa
Saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini menunjukkan betapa tidak kompetennya saya.
9
Externalization of self worth
Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain.
Saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu tetapi teman-teman saya yang tidak menginginkan saya berada di sampingnya.

Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek terstruktur berorientasi terhadap masalah saat ini dan bersifat individu. Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi (Singgih, 2007).







3.2  Tujuan Terapi Kognitif
Menurut Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan menggunakan terapi kognitif adalah sebagai berikut:
a.       Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang keakuratan kognisi negative klien. Selain itu, juga untuk memperkuat persepsi yang lebih akurat dan mendorong perilaku yang dirancang untuk mengatasi gejala depresi. Dalam beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan terapi depresan.
b.      Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
c.       Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah cara berpikir atau mengembangkan pola pikir yang rasional.
d.      Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang maladaptive, pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta proses pikir tidak logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada pikiran individu yang menentukan sifat fungsionalnya.
e.       Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan. Tanda dan gejala depresi dihilangkan melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara berpikir maladaptive dan otomatis. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan yang dapat menyebabkan depresi. Klien menyadari kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon kesalahan tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dengan perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative. Cara lain adalah dengan membantun klien mengidentifikasi kondisi negative, mencari alternative, membuat skema yang sudah ada menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang lebih adaptif.
f.       Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang menyebabkan dan mempertahankan panik atau kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan klien, restrukrisasi kognitif, pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik biologis, mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
g.      Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan obsesif kompulsif dan selanjutnya mencegah responsnya. Misalnya dengan cara pelimpahan atau pencegahan respons, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi distorsi kognitif melalui psikoedukasi.
h.      Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk hirarki situasi fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap mempertahankan respons rileksasi misalnya dengan cara desensitisasi sistematis. Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien terhadap situasi yang ditakutinya.
i.        Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi kognitif.
j.        Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi sistem keyakinan yang salah.
k.      Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik untuk meningkatkan aktivitas sosialnya.
l.        Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.

3.3  Indikasi Terapi Kognitif
Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi psikiatri yang lazim, terutama:
a.       Depresi (ringan sampai sedang).
b.      Gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan.
c.       Indiividu yang mengalami stress emosional.
d.      Gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang sering terjadi pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan antidepresan – jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering terjadi.
e.       Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik).
f.       Gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder).
g.      Gangguan makan (anoreksia nervosa).
h.      Gangguan mood.
i.        Gangguan psikoseksual
j.        Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.


3.4  Teknik Terapi Kognitif
Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan kemampuan lain seperti teknik komter, milieu therapy dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain: 
A.    Teknik Restrukturisasi Kognitif (Restructuring Cognitive)
B.      Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturasasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5 kolom.
Tanggal
Situasi emosi
Pikiran otomatis
Respon rasional
hasil
Tanggal saat masalah dirasakan
1. Kejadian nyata yang menyebabkan ketidaknyamanan emosi.
2.      Pokok pikiran, khayalan yang menyebabkan ketidaknyamanan emosi.
1.     Pikiran otomatis yang muncul khususnya sedih, cemas, marah.
2.     Skala emosi dalam rentang 0% - 100 %
1.      Tulis respon rasional terhadap pemikiran otomatis yang muncul
2.      Tuliskan persentase kepercayaannya dalam rentang 0- 100%
1.      Tulis kembali tingkat kepercayaan terhadap persentase pikiran otomatis 1- 100%
 Masing - masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan kecemasan saat ini.

Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive, untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang sudah terisi dibahas secara bersama.
C.     Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi dalam pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data-data yang tidak disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran buruknya.
Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya. Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama ini.
D.    Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya alternatif pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien bisa menemukan alternatif – alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum dibayar klien boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan tidak mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berfikir “lain dari yang biasanya “ atau berani “berpikir beda”.
E.     Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa (the what-if then). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa yang mungkin terjadi.


Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan. Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal dipantai harus berani berfikir : “apa yang akan saya lakukan bila tsunami tiba-tiba datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba tenggelam?; dan sebagainya.
F.      Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya belajar industry rumahan (home industry) dan meraih peluang kerja yang lainnya.
G.    Berhenti Memikirkan (Thought Stopping)
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik berhenti memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir disfungsional. Untuk memulainya, klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras “berhenti”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi keseharian.
H.    Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara bersama dengan fasilitator. Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa melakukannya sendiri.
I.       Membentuk Pola ( Shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan penguatan (reinforcement). Misalnya anak yang bandel dan tidak akur dengan orang lain berniat untuk damai dan hangat dengan orang lain, maka pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.
J.       Token Economy
Token economy adalah bentuk penguatan positif yang sering digunakan pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara konsisten pada saat klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang baik. Misalnya setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu saat jumlahnya diakumulasikan.
K.    Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok
L.     Social skill Training.
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun diperoleh sebagai hasil belajar. Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan keterampilan membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang baik, selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan sendiri. Perawat melakukan feedback dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang masih belum selesai harapan.
M.   Anversion Theraphy
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan buruk klien dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang tidak disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat bosan dengan cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai cacing atau ulat yang menjijikan. Setiap klien kegemukan melakukan kebiasaan ngemil makanan, maka ia dianjurkan untuk membayangkan kotoran kambing yang dimakan terus.
N.    Contingency Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapis dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat dengan hukuman (punishment) dan pujian (reward). Misalnya bila klien berhasil mandi tepat waktu atau meninggalkan kebiasaan merokok maka pada saat bertemu dengan perawat hal tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati antara klien dengan perawat terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk yang sudah disepakati untuk ditinggalkan.

Sedangkan menurut Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan dalam melakukan terapi kkognitif adalah sebagai berikut:
1.      Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan keyakinan yang menyebabkan khawatir.
2.      Menggunakan teknik pertanyaan Socratic  yaitu meminta klien untuk menggambarkan, menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang merendahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa asumsi tersebut tidak logis dan tidak rasional.
3.      Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri, nilai diri dan dunia. Dengan demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru, dan distress enmosional menjadi hilang.

3.5  Langkah-Langkah Melakukan Terapi Kognitif
Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif dipraktikan diluar sesi terapi dan menjadi modal utama dalam mengubah gejala. Terapi berlangsung lebih kurang 12-16 sesi yang terdiri atas:
A.    Fase awal
1.      Membentuk hubungan terapeutik dengan klien.
2.      Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta pengaruhnyan terhadap emosi dan fisik.
3.      Menentukan tujuan terapi.
4.      Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikiran yang otomatis.
B.     Fase pertegahan
1.      Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.
2.      Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta mempraktikan keterampilann berespons terhadap hal-hal yang menimbulkan depresi dan memodifikasinya.
C.     Fase akhir
1.      Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang relevan untuk terjadinya kekambuhan.
2.      Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.

3.6  Strategi Pendekatan
Menurut Setyoadi, dkk (2011) strategi pendekatan terapi kognitif antara lain:
a.       Menghilangkan pikiran otomatis.
b.      Menguji pikiran otomatis.
c.       Mengidentifikasi asumsi maladaptif.
d.      Menguji validitas asumsi maladaptif.




BAB IV
PENUTUP

4.1  KESIMPULAN
A.    Terapi Aktivitas Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009).
Manfaat TAK yaitu: Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing)  melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri.
Tahapan TAK yaitu: fase prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja kelompok, dan fase terminasi.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004).
B.     Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi.  Terapi kognitif digunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki gejala perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitif yang ada. Terapis dengan pendekatan kognitif mengajarkan pasien atau klien agar berpikir lebih realistik gejala yang berkelainan yang ada.
Terapi kognitif di indikasikan kepada klien dengan depresi (ringan sampai sedang), gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan, indiividu yang mengalami stress emosional, gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang sering terjadi pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan anti depresan – jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering terjadi, gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik), gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder), gangguan makan (anoreksia nervosa), gangguan mood, gangguan psikoseksual, mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.
Beberapa teknik dalam terapi kognitif yaitu teknik restrukturisasi kognitif (restructuring cognitive), teknik penemuan fakta-fakta (questioning the evidence), teknik penemuan alternatif (examing alternatives), dekatastropik (decatastrophizing), reframing,  thought stopping, learning new behavior with modeling, membentuk pola (shaping), token economy, role play, social skill training, anversion theraphy, contingency contracting.

4.2  SARAN
a.       Perawat harus memberikan rasa nyaman pada pasien.
b.      Perawat harus membantu pasien dalam memenuhi aktifitas kebutuhan sehari-hari.
c.       Perawat harus memotivasi pasien agar pasien cepat sembuh dan tidak terpuruk dengan penyakitnya.
d.      Perawat mampu menerapkan mekanisme koping dengan menggunakan terapi modalitas pada keperawatan jiwa.





DAFTAR PUSTAKA

Keliat B. A, 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta. EGC.
Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Reflika Aditama.
Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Setyoadi, dkk. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis: Mosby.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar